Pelajaran dari seorang tukang pukul ekonomi

Resensi Buku

Buku: Confessions of an Economic Hit Man

Penulis: John Perkins

Peresensi: Adi Setia, PhD.

Biasanya tukang pukul ini preman jalanan yang mendapatkan upah dari bosnya untuk memukul, membunuh, menggertak atau mencederai orang yang tidak mentaati bosnya, semacam mafia atau yakuza.  Namun Tukang Pukul Ekonomi (TPE) ini bukan preman, bukan mafia, melainkan orang berpendidikan tinggi dengan ijazah dari universitas.  Ia memukul bukan dengan tangan, kayu, besi atau menembak dengan pistol, tapi dengan ilmu teori, kerangka, model dan gagasan ekonominya.  Dia memukul dengan fakta-fakta perancangan ekonomi makro (macroeconomic statistics/econometrics) yang sengaja diputarbalikkan dengan sangat halus agar pemimpin-pemimpin negara Dunia Ketiga terpedaya ambil utang besar yang tak mungkin terbayar.  Berikut ini sebagian pengakuan John Perkins.

“TPE adalah profesional bergaji besar yang menipu negara-negara dunia triliunan dollar. Mereka mengalirkan uang dari Bak Dunia, Agensi Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (United States Agency for International Development, USAID) dan organisasi “bantuan” dunia lainnya (international aid agencies) ke dalam rekening perusahaan besar dan saku segelintir keluarga kaya-raya yang menguasai sumber-sumber alam dunia.  Alat-alat mereka termasuk laporan keuangan palsu, pemilu yang dirancang dengan tipu daya, korupsi, pemerasan, dan pembunuhan.  Mereka memainkan permainan yang setua permainan imperialisme, tapi kini permainan ini lebih dahsyat dan menakutkan pada era globalisasi ini.  Saya memang tahu, saya pernah menjadi TPE.”

Tapi soalnya sekarang, mengapa utang negara dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional dan lain-lain harus berjumlah besar dan seharusnya tidak mungkin dibayar?  Jawabannya, supaya lebih mudah negara itu diperalatkan untuk tujuan politik dan ekonomi Amerika, seperti memilih antara mengikuti kehendak Amerika di PBB, dengan menyediakan pangkalan militer (military bases) bagi Amerika, atau membolehkan Amerika menguras kekayaan bumi negeri, seperti minyak dan lain-lain.  Lagipun pinjaman itu diberikan dalam dolar Amerika yang tidak dijamin oleh emas tapi uang kertas yang bisa saja dicetak atau angka-angka yang dimasukkan ke dalam rekening negara pengutang.  Sebenarnya kalau utang itu tak dibayar pun Amerika tak akan menerima kerugian apa-apa, bahkan jika idak dibayar lebih baik, karena dengan demikian negara pengutang akan terikat dengan kehendak politik dan ekonomi Amerika.

Di Panama umpamanya, Amerika ingin terus menguasai Terusan Panama (Panama Canal), tapi presiden Panama masa itu Omar Torrijos ingin menjadikannya milik negara sepenuhnya.  Tugas Perkins sebagai TPE ialah membujknya supaya mengubah rencananya dengan menmggunakan perencanaan ekonomi yang lain yang lebih berpihak kepada kemauan perusahaan-perusahaan multinasional Amerika seperti Bechtel, Halliburton dan sebagainya.  Ketika bujukan Perkins gagal, maka tukang pukul lain dikirim, yaitu apa yang disebut jackals atau para serigala, para agen CIA.  Menurut Perkins, agen-agen CIA-lah yang merancang pembunuhan Omar Torrijos ketika pesawat yang ditumpanginya meledak di udara pada tahun 1981.

Bagian yang menarik bagi pembaca di Asia Tenggara ialah pengalaman Perkins di Indonesia pada awal tahun tujuh puluhan.  Masa itu beliau baru dilantik sebagai pakar ekonomi di MAIN, satu perusahaan perunding akuntansi internasional yang berbasis Amerika dan berhubungan erat dengan Departemen Keuangan AS (Department of  the Treasury).  Tugas Perkins ialah membuat perencanaan ekonomi dan keuangan jangka panjang proyek infrastruktur besar guna menyuplai tenaga listrik ke seluruh pulau Jawa.  Dia harus membuat prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 20-30 tahun yang akan datang.  Prediksi itu dibuat untuk meyakinkan pihak pemerintah Indonesia (yang baru akan bangkit dari kekacauan politik) bahwa proyek infrastruktur itu akan membawa keuntungan ekonomi dan dengan itu Indonesia akan mampu membayar pinjaman besar yang akan digunakan untuk membiayai proyek itu.  Mungkin sejak itulah ekonomi Indonesia terlalu terikat dengan kepentingan-kepentingan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional dan perusahaan trans-nasional Amerika, termasuk penjualan aset-aset negara kepada pihak asing yang kontroversial demi melunaskan utang yang besar.

Perkins juga menegaskan, bahwa sebenarnya uang pinjaman itu tidak pernah mengalir kepada negara yang berutang, ia cuma mengalir dari Bank Dunia, IMF dan USAID ke perusahaan-perusahaan trans-nasional Barat yang mengendalikan proyek infrastruktur itu.  Jadi pinjaman dibuat, tapi yang mendapat keuntungan adalah perusahaan Amerika bukan perusahaan lokal, kecuali perusahaan yang menjadi makelar proyek dan pinjaman itu, yang biasanya dimiliki oleh keluarga atau teman para penguasa sipil dan jenderal-jenderal.  Rata-rata pinjaman jenis ini gagal membangunkan ekonomi lokal.  Pinjaman terlalu besar berdasarkan perhitungan yang diputarbalik.  Bunga alias ribanya juga terlalu besar sehingga hasil ekspor negara banyak dihabiskan untuk membayar bungan saja.  Sisanya yang berjumlah kecil saja yang dibelanjakan untuk memakmurkan kehidupan rakyat jelata.

Perkins menyatakan, masalah yang sama juga berlaku bila negara miskin diberi bantuan internasional (international aid).  Bantuan tersebut diiringi pelbagai syarat seperti perlu digunakan untuk beli peralatan dan produk dari perusahaan-perusahaan negara pembantu.  Akhirnya bantuan internasional ini lebih berupa suatu “subsidi” bagi perusahaan-perusahaan Barat agar mudah meluaskan pasar mereka ke negara-negara membangun.  Karena menyadari hal itulah Malaysia berkata,  “trade not aid” dan enggan menerima pinjaman atau bantuan dari Bank Dunia, IMF atau Amerika semasa krisis ekonomi pada tahun 1997-1999.

Satu perkara lagi yang dinyatakan Perkins ialah hakikat, bahwa jumlah orang yang bekerja sebagai TPE di masa kini sangat banyak dibandingkan tahun-tahun 70-an.  Dalam era globalisasi ini perusahaan-perusahaan trans-nasional berusaha menanamkan uang mereka di negara-negara miskin demi menguras hasil kekayaan alam negara itu.  Perusahaan-perusahaan itu dibantu oleh pakar-pakar konsultan ekonomi antarbangsa (international economic consultants) yang akan berusaha meyakinkan negara miskin bahwa investasi mereka menguntungkan negara, padahal mereka sebenarnya ingin menguntungkan diri sendiri saja.

Membaca pengakuan terbuka TPE seperti Perkins membuat kita didorong untuk merenung lebih dalam, tentang sebutan kaya atau miskin.  Kalau sebuah negara berpenduduk kaya, memiliki cuaca yang nyaman, bumi yang subur, lautan yang luas dengan hasil ikan melimpah, hutan belantara menghijau sejauh mata memandang, dengan sawah, dusun dan sebagainya (seperti Indonesia, Ekuador, Filipina, Venezuela dsb) patutkah negara itu dianggap lebih miskin daripada Jepang, Singapura, Hongkong dan Inggris yang tidak memiliki kekayaan alam sama sekali?  Apa sebenarnya yang memiskinkan dan mengkayakan suatu negara?  Kalau kita membaca buku Perkins dengan teliti, yang membuat sebuah negara disebut miskin bukan buminya tapi sistem ekonomi bikinan manusia Barat, yang terlalu menguntungkan pihak pemodal asing sehingga memaksa rakyat mengemis, jadi “budak upah” (wage-slaves) di tanah tumpah darah dan kampung halamannya sendiri.

Selain Panama dan Indonesia, Perkins juga menceritakan pengalaman kerjanya sebagai TPE di Ekuador, Arab Saudi, Kolombia dan Iran.

Pelajaran besar yang bisa kita peroleh dari buku Perkins, kita tak bisa berharap dari konsultan asing untuk memberi nasihat tentang cara untuk memakmurkan ekonomi rakyat kita.   Konsultan tersebut dibayar gaji oleh Bank Dunia atau IMF atau perusahaan trans-nasional atau perusahaan makelar investasi internasional.  Sudah tentu mereka bekerja bagi pihak mereka, bukan untuk pihak kita.

Kita sendirilah yang harus memikul tanggungjawab intelektual, sosial dan nasional demi memikirkan sendiri model ekonomi yang benar-benar dapat memakmurkan negara kita, karena kita-lah yang lebih mengenal rakyat kita sendiri.  Kita lebih tahu tentang masalah mereka.  Kita lebih arif tentang potensi ekonomi bumi kita.  Kita lebih ‘alim tentang budaya dan sistem nilai tempatan, dan sudah pasti kita-lah yang dapat memutuskan bagi diri kita tentang apa yang kita perlukan dan apa yang tidak kita perlukan.  Tidak akan kita pernah menyerahkan tanggung jawab ini kepada konsultan asing yang datang berkunjung dua tiga minggu, tinggal di Hilton atau Intercontinental Jakarta, bikin angka macam-macam, sesudah itu mengajari kita bagaimana ‘memajukan’ Aceh, Irian, Sulawesi atau Kalimantan. Ini tak masuk akal sama sekali.  Kita sendiri memiliki banyak pakar ekonomi yang arif tentang prinsip-prinsip ekonomi Islam dan ekonomi Barat secara kritis, dan sepatutnya mereka sudah mampu merancang model ekonomi yang berdasarkan kemaslahatan masyarakat.

Leave a comment