Orang Kerdil Dari Dunia Yang Hilang

(Majalah INSANI – Juni 2005)

Fosil manusia kerdil di Liang Bua diklaim sebagai the Missing Link dalam teori evolusi Darwin.  Benarkah?

Liang Bua, sebuah goa yang terletak di pegunungan Kabupaten Manggarai Timur, Pulau Flores, tiba-tiba terkenal di seantero dunia.  Kerangka yang diduga manusia dewasa berkelamin perempuan setinggi kira-kira satu meter ditemukan di sana.  Kerangka mungil itu ditemukan oleh tim peneliti dari Indonesia dan Australia yang dipimpin oleh Mike Morwood, Richard Roberts, dan Thomas Sutikna.  Dalam publikasinya, tim ini mengklaim telah menemukan spesies manusia baru.  Argumentasi yang diajukan berdasar tanda-tanda primitif yang melekat pada tulang-belulang kerangka itu, juga sisa kerangka lain yang ditemukan di Liang Bua.  Si manusia mungil ini kemudian dijuluki Hobbit (seperti julukan untuk orang kerdil dalam buku Lord of The Rings) yang hidup 18 ribu tahun yang lalu.

Penemuan “manusia flores” ini bermula dari penemuan peralatan dari batu di dekat fosil stegodon (gajah purba) oleh Pastor Theodor Verhoeven dari Seminari Ledalero, Maumere pada 1950-an dan 1960-an.  Peralatan batu itu diperkirakan berumur 750 ribu tahun.

Pada 1970 tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional memutuskan mengekskavasi sistematis untuk memperoleh lebih banyak data di Liang Bua.  Kemudian pada 1990-an peneliti lainnya mengoreksi penemuan Pastor Verhoeven, dan menyatakan bahwa alat-alat batu itu berumur 840 ribu tahun.  Penemuan alat-alat batu itulah yang kemudian menuntun tim peneliti dari australia dan Indonesia melakukan penelitian di Flores.  Mereka memfokuskan penggalian di Liang Bua hingga menemukan kerangka Hobbit yang menghebohkan itu pada 2003.  Kerangka itu diyakini milik manusia perempuan dewasa atas dasar struktur tulang panggul dan susunan gigi-giginya.  Struktur tengkoraknya diidentifikasi mirip Homo erectus tetapi berukuran mungil.  Volume otaknya kurang dari sepertiga volume otak manusia modern.

Setelah diamati lebih lanjut, tim peneliti ini kemudian berkesimpulan bahwa Hobbit adalah spesies manusia baru dan diberi nama: Homo floresiensis, “manusia flores” yang berevolusi dari Homo erectus yang tiba di Flores 800 ribu tahun lalu.

Kontroversi di kalangan hali purbakala merebak.  Benarkah tengkorak kecil itu merupakan tonggak sejarah (milestone) dalam perjalanan evolusi manusia?  Prof. Teuku Jacob, pakar Paleoantropologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada meragukan identifikasi Homo floresiensis.  Menurutnya, kerangka dari Liang Bua itu bukan spesies manusia purba melainkan manusia modern yang lahir tautologik (menyimpang).  Diduga, penyimpangan itu disebabkan penyakit microcephaly, sebuah kondisi kongenital karena seseorang dilahirkan dengan otak yang kecil.  Orang Flores, diketahui banyak yang mengidap penyakit seperti ini.

Sebagian ilmuwan yang lain juga meragukan penemuan Homo floresiensis itu.  Flores terletak antara benua Asia dan Australia tetapi tidak pernah terhubung dengan kedua benua itu.  Bahkan saat permukaan air laut rendah pada masa lalu, Flores dipisahkan oleh laut sepanjang 24 kilometer dari daratan Asia.  Dengan volume otak yang dimiliki Hobbit, sulit dibayangkan mereka mampu membuat perahu.

Sementara kalangan yang pro menganggap bahwa evolusi menuju pengerdilan itu tidak mustahil.  Mereka setuju dengan pendapat Mark Lomolino, seorang biogeografer yang mengatakan, “Evolusi menekankan perubahan, dan beberapa spesies melakukannya dengan menciut.”  Hal ini berkaitan dengan sumber makanan.  Di pulau yang sumber makanannya sedikit, ukurannya menyusut, sebaliknya jika sumber makanan melimpah dan tidak ada pesaing, ukurannya cenderung membesar.

Kontroversi teori evolusi

Teori evolusi dibangun oleh Charles Darwin yang didasarkan pada filsafat materialisme.  Teori ini menjadi terkenal di dunia sains ketika Darwin menerbitkan bukunya yang terkenal berjudul The Origin of Species, by Means of Natural Selection pada tahun 1859.  Darwin mengatakan, semua makhluk hidup memiliki nenek moyang yang sama dan menjadi beraneka ragam melalui perubahan berangsur-angsur  dalam jangka waktu lama, yang dikenal dengan istilah evolusi.

Dalam masa-masa awal perkembangannya, teori ini sebenarnya telah menghadapi berbagai persoalan yang sukar dijawab.  Darwin sendiri dalam bukunya sudah mengakui kesulitan-kesulitan itu dalam bab Difficulties of Theory.  Ia pun menyatakan, teori tersebut hanyalah sebuah asumsi.

Ada tiga topik mendasar yang tidak dapat dijelaskan oleh teori evolusi, yaitu: bagaimana kehidupan ini muncul di muka bumi;  tidak adanya bukti dari mekanisme evolusi; dan catatan fosil yang ada menunjukkan kebalikan teori evolusi.

Klaim yang paling sengit diusung pendukung teori evolusi adalah tentang asal-usul manusia  modern yang bermuara pada makhluk mirip kera yang disebut Australopithecus (kera Afrika Selatan), sejak 4 – 5 juta tahun lalu.  Mereka mengaku menemukan bentuk transisi antara manusia modern dengan para nenek moyangnya, lalu mengklasifikasi manusia selanjutnya (dalam proses evolusi) sebagai homo yang berarti “manusia.”  Makhluk hidup dalam serial Homo ternyata jauh lebih cepat berkembang daripada Australopithecus.  Kemudian dibuatlah skema fantastis dengan cara menyusun fosil-fosil yang beragam dari dalam tatanan yang tertentu.  Skema ini merupakan suatu imajinasi.  Tidak pernah terbukti ada sebuah hubungan evolusi antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut.

Dengan garis besar rantai hubungan seperti “Australopithecus – Homo habilis – Homo erectus hingga Homo sapiens,” para evolusionis mengimplikasikan bahwa spesies-spesies itu memiliki satu nenek moyang yang sama.

Riset yang ekstensif pernah dilakukan terhadap beragam sampel Australopithecus oleh dua orang ahli anatomi asal Inggris dan Amerika, Lord Solly Zuckerman dan Prof. Charles Oxnard.  Hasilnya menunjukkan, semua itu merupakan fosil spesies kera biasa yang telah punah dan hampir tidak ada kemiripannya dengan manusia.

Penemuan terakhir dari para paleontolog mengemukakan bahwa Australopithecus, Homo habilis,  dan Homo erectus hidup di bagian dunia yang berbeda pada waktu yang bersamaan.  Selain itu, suatu golongan tertentu dari manusia yang diklasifikasikan sebagai Homo erectus terus hidup hingga masa yang sangat modern.  Homo sapiens neanderthalensis dan Homo sapiens sapiens (manusia modern) eksis secara bersamaan pada wilayah yang sama.  Demikian juga Hobbit yang eksis bersama-sama dengan manusia modern.

Paleontolog dari Universitas Harvard, Stephen Jay Gould yang juga menganut teori evolusi menganggap temuan itu suatu “kebuntuan” teori evolusi.  “Apa yang menjadi tangga bagi kami jika ada tiga spesies manusia yang eksis secara bersamaan dikurun yang sama (Australopithecus africanus, Robus autralopithecines dan Homo habilis), tidak ada satu pun yang dengan jelas merupakan hasil dari perubahan yang lainnya?  Selain itu, tidak satupun dari ketiganya yang berperan dalam proses evolusi selama mereka hidup di muka bumi.”

Ernst Mayr, salah seorang pembela utama teori evolusi pada abad kedua puluh, mengakui fakta ini dengan menyatakan bahwa “rantai yang mencapai sejauh Homo sapiens sebenarnya hilang.”

Zuckerman (seorang evolusionis juga), mengkaji fosil-fosil Australopithecus selama lima belas tahun.  Kesimpulannya, tidak ada silsilah keluarga dari kera yang mempunyai kemiripan dengan manusia.

Zuckerman juga membuat suatu “spektrum sains” yang terdiri atas ilmu-ilmu yang dia anggap saintifik hingga mereka yang tidak saintifik.  Menurut spektrum Zuckerman, yang “paling saintifik” adalah kimia dan fisika.  Setelah keduanya adalah ilmu biologi, kemudian ilmu sosial.  Di akhir spektrum, yang dianggap sebagai yang “paling tidak saintifik” adalah “persepsi ekstrasensori”, yaitu konsep-konsep seperti telepati dan indera keenam, dan yang terakhir adalah “evolusi manusia.”  Alasannya, “kami kemudian berpaling pada susunan kebenaran yang obyektif kepada bidang ilmu biologi pra-asumsi, seperti persepsi ekstrasensori atau interpretasi sejarah fosil manusia, dimana keyakinan terhadap sesuatu adalah mungkin, dan dimana pada saat yang sama secara berapi-api meyakini sesuatu yang dapat diyakini secara kontradiktif.”

Jadi, sulit mempertahankan asumsi bahwa “manusia flores” adalah rantai yang hilang dalam evolusi manusia, kalau tidak mau dikatakan tidak mungkin.  Selain tidak ada bukti-bukti ilmiah, teori evolusi juga berseberangan dengan kaum agamawan yang meyakini bahwa semua makhluk diciptakan sudah dalam keadaan sempurna.

Malcolm Mugridge, filosof ateis dan pendukung teori evolusi, mengaku khawatir masa depan teori evolusi.  “Saya yakin teori evolusi, khususnya apa yang sudah dilontarkan, akan menjadi sebuah lawakan besar di dalam buku-buku sejarah di masa datang.  Kemajuan ilmu pengetahuan akan terus bergulis sehingga sebuah hipotesis yang serapuh dan semeragukan itu mungkin adalah suatu pemaksaan kehendak yang sangat tidak layak.”

ADI MUSTIKA,  DARI BERBAGAI SUMBER

1 Response to Orang Kerdil Dari Dunia Yang Hilang

  1. allogPeFlar says:

    perlu memeriksa:)

Leave a comment